Minggu, 12 Desember 2010

MODEL PENELITIAN GERAKAN KEAGAMAN

MODEL PENELITIAN GERAKAN KEAGAMAN
“GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA”
(Telaah Buku Karangan Iskandar Zulkarnain)
Oleh : Drs AANG TAUFIK

A.  Latar Belakang
Dinamika pemikiran dalam dunia Islam senantiasa berkembang terus menerus dengan perkembangan zaman. Perkembangan pemikiran dalam Islam sebagai upaya reaktualisasi ajaran tauhid untuk menjawab tantangan problematika zaman. Islam tidak lagi baku dan stagnan, akan tetapi Islam harus menjawab setiap problem kemasyarakatan sebagai manifestasi dari rahmatan lil’alamin. Islam yang dinamislah, yang mampu bersaing dengan ideology “kosmopolit” di arus global saat ini.[1]
Pemikiran Islam, setidaknya mampu menempatkan diri pada wilayah yang mencerminkan ummatan wasathan (umat yang berimbang). Karena, ia merupakan hasil pemikiran yang kritis dan ilmiah, sehingga resistensi dari dominasi kelompok Islam tertentu tidak terlihat. Meskipun demikian, variasi keberagaman Islam juga harus dihormati, sehingga meminimalisasi adanya “truth claim” dari kelompok tertentu dan menilai yang lain sebagai sesat dan kafir. Pemikiran adalah ruang terbuka dan “pasar bebas” yang berhak untuk diisi oleh apa dan siapapun. Akan tetapi standarisasi rasionalitas dan norma-norma tauhid patut kiranya dikedepankan, sehingga tidak menjadi kontra produktif dalam menghasilkan pemikiran guna menjawab tantangan zaman.[2]
            Belakangan ini, wajah Islam sangat banyak dan variatif. Islam sejak lahir bukanlah entitas yang tunggal, namun telah menjadi sunnatullah yang beragam. Hal ini disebabkan Islam yang hadir di tengah-tengah peradaban Quraisy, memiliki cita-cita besar untuk membebaskan manusia di seluruh dunia, tidak hanya di jazirah Arab. Jadi, Islam memiliki variabel yang berlimpah, karena ia akan terus berproses dengan realitas zaman dan lokalitas budaya yang dihadapinya. Oleh karena itulah, Islam bukan sesuatu yang tunggal.
            Islam di Indonesia menjadi agama mayoritas, tetapi tidak ada jaminan dalam Islam mempunyai warna yang sama. Islam di Indonesia sangat majemuk, sebagaimana kebhinekaan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.  Pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam tidak terlepas dari faktor penting yang mepengaruhinya diantaranya : Struktur masyarakat, budaya lokal, dan ilmu pengetahuan. Selain itu pula ada faktor ekonomi-politik yang ikut melatarbelakangi munculnya keberagaman umat Islam di Indonesia. Labelisasi terhadap kelompok Islam tertentu juga secara langsung berimplikasi terhadap pemikiran yang dihasilkannya. Isu-isu penting juga tidak luput dari wacana yang senantiasa lahir dari rahim para pemikir berlian Indonesia, baik sejak zaman kolonial sampai pasca reformasi saat ini. Inilah kekayaan intelektual umat Islam Indonesia, yang sudah semestinya bukan dikebiri, namun perlu dikaji dan dikembangkan untuk kebaikan peradaban Islam Indonesia pada masa yang akan datang.
            Sejak pertengahan akhir  abad ke 19, dimulainya kebangkitan Islam yang mengkristal dalam wujud semaraknya gerakan Islam   pada permulaan abad ke 20 sampai saat ini. Dari berbagai bentuk gerakan Islam, ada gerakan-gerakan yang menekankan aspek Islam tertentu atau menekankan kehidupan duniawi dari individu-individu atau masyarakat Islam. Gerakan Islam dalam pengertian tersebut, misalanya Mu’tazilah dan Asy’ariyah.[3]
            Dalam kaitannya dengan gerakan-gerakan Islam di India,     Ahmadiyah lahir sebagai sebuah gerakan keagamaan di India pada paruh akhir abad 19 M. Faktor yang memotivasi munculnya aliran ini ialah kemunduran umat Islam India di bidang agama, politik, ekonomi, sosial dan bidang kehidupan kehidupan lainnya, terutama pasca pecahnya revolusi India 1857 yang berakhir dengan kemenangan Inggris, sehingga India dijadikan sebagai salah satu Negara koloni Inggris yang terpenting di kawasan asia.[4]
Gerakan Ahmadiyah di India, Wilfred C. Smith memasukan Mirza Ghulam Ahmad dengan gerakan Ahmadiyahnya ke dalam gerakan teologi. Akan tetapi, H.A.R. Gibb cenderung memasukannya ke dalam gerakan intelektual, walaupun aspek intelektual Ahmadiyah hanya merupakan unsur yang tidak begitu dominan di dunia Islam.[5]
Mirza Ghulam Ahmad melakukan pembaruan Islam dalam hal sebagai berikut: masalah kematian Nabi Isa a.s. (al-Mahdi dan al-Masih), masalah mujaddid, masalah wahyu, masalah kenabian, masalah khilafat, dan masalah Jihad. Dalam perkembanganya, Ahmadiyah "pecah" menjadi dua, yakni Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore.
Ajaran Ahmadiyah kini memiliki sekitar 200 juta pengikut setia di seluruh dunia. Di Indonesia diperkirakan tak kurang dari 500 ribu Ahmadie sebutan untuk pengikut Ahmadiyah. Aliran Ahmadiyah Qadian di Indonesia memang lebih berkembang dari segi anggota. Kampus Mubarok di Bogor yang diserang suatu kelompok Islam beberapa waktu lalu itu merupakan pusat penyebaran Ahmadiyah Qadian di Indonesia. Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore mendirikan organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Yogyakarta.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia melalui pelajar Sumatera yang belajar di India dan kembali ke Indonesi sekitar tahun 1925. Mereka ini membawa tafsiran baru terhadap Al-Qur'an yang rasional. Karya-karya pemikir Ahmadiyah mulai menjadi bahan bacaan yang menarik. Sampai-sampai Haji Agus Salim (tokoh Sarekat Islam) menyatakan bahwa dari segala jenis tafsir Al-Qur'an, tafsir Ahmadiyalah (baca: The Holy Qur'an karya Maulana Muhammad Ali) yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar. Kegiatan Ahmadiyah menyebar di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bogor, Tasikmalaya, Sukabumi, Banjarnegara, Wonosobo, Kuningan, Lombok Timur, Purwokerta dan daerah lainnya.       
Sebagai gerakan dakwah, Ahmadiyah menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mahadiistis, yakni adanya suatu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi atau "juru selamat" yang mengemban misi melenyapkan kegelapan, dan menciptakan perdamaian di dunia.
Dalam berdakwah, Ahmadiyah menggunakan sikap yang sopan, santun, dan tidak suka menempuh jalan kekerasan. Media yang digunakan dakwah antara lain: penerbitan, penerjemahan Al-Qur'an ke dalam 100 bahasa, lembaga pendidikan, seminar, dialog, kajian buku dan televisi melalui Muslim Television Ahmadiyah (MTA/Ahmadiyah Qadian). Media yang terakhir ini terbilang sangat canggih, karena media elektronik itu mampu menjangkau kawasan seluruh dunia dan beragam latar belakang agama. Dalam berbagai kesempatan dakwah, orang-orang Ahmadie sangat percaya diri menyebarkan ajarannya dengan cara berdebat terbuka. Sehingga, iklim dialogis sebenarnya mereka miliki sebagian dari strategi dakwah.
Dalam buku ini Iskandar Zulkarnain berusaha mendedahkan segala yang mungkin masih menjadi misteri bagi banyak orang tentang doktrin-doktrin Ahmadiyah. Selain itu, ia juga mengungkap dengan tajam akar dan target gerakan Ahmadiyah, serta kiprahnya di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, buku ini merupakan buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas gerakan Ahmadiyah di Indonesia, terutama dari sudut pandang sejarah. Meskipun sarat dengan literatur dan rujukan, buku ini cukup lancar berkisah tentang sepak terjang Ahmadiyah baik Qodian maupun Lahore, mulai dari awal kedatangannya di Indonesia hingga pengujung abad ke-20.
Sehubungan dengan situasi dan kondisi umat Islam saat ini terhadap Ahmadiyah penulis merasa sangat penting untuk mengangkat permasalahan ini menjadi sebuah buku yang merupakan pengembangan dari disertasi penulis menjadi sebuah buku yang berjudul “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”,  untuk mendudukkan secara proporsional pemikiran dan gerakan Ahmadiyah dalam peta pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia.
B.       Permasalahan
Hasil dari penelusuran penulis terhadap Buku Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia , maka penulis merumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana asal muasal gerakan Ahmadiyah di India?
2.      Bagaimana Perkembanagan Ahmadiyah di Indonesia sejak tahun 1920-1942?
3.      Bagaimana Strategi Ahmadiytah dan gerakan Ahmadiyah di Indonesia?
4.      Bagaimana perkembangan terakhir gerakan Ahmadiyah di Indonesia?
C.  Telaah Pustaka
Gerakan Ahmadiyah telah banyak dibahas atau diteliti oleh berbagai kalangan yang merupakan respon positif terhadap perkembangan gerakan Islam, diantaranya :
1.    Buku Mirza Ghulam Ahmad di Qodiyan, Penulis : Disalin bahasa Inggris Oleh SM.Tufail MA [Sekretaris Ahmadiyyah Anyuman Ishati Islam. Disalin bahasa Indoensia oleh R.Ng. Haji Minhadju R. Rahman Djajasugita, Ketua Pedoan Besara Gerakan Ahmadiyah Indonesia Aliran Lahore di Jogjakarta Indonesia, Penerbit: Yayasan Sasana Sunu. Yogyakarta-Indonesia  Cetakan : Agustus 1956.
Buku ini ada yang menarik, tepatnya pada halaman 23 dan 24, pendiri Ahmadiyah itu mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan mengakuan dirinya sebagai nabi. Pernyataan pertama yang dibuatnya, dibaca sendiri di dalam Masjid Jami’ di Delhi. Selengkapnya sebabagi berikut:
Penolakan yang terang atas tuduhan mengaku nabi ini disebutkan dalam segala kitabnya, yang terbit sesudah itu . Dibawah ini disebutkan sedikit kutipan-kutipannya:
“Tidaklah ada pengakuan menjadi Nabi, tetapi kami mengaku menjadi Muhaddats dan pengakuan menjadi Muhaddats ini atas perintah Allah”.
“Mereka menyatakan suatu kebohongan yang berkata bahwa orang ini mengaku menjadi Nabi”.
“Kami tidak melahirkan pengakuan kenabian, Kamu sekalian salah faham di sini”.
“Jika pencelaannya itu bahwa kami melahirkan pengakuan kenabian, apakah yang sapat kami katakan, kecuali ini yaitu bahwa la’nat Allah itu jatuh atas pembohong dan pengada-ada”.
 “Ini adalah kebohongan sejati yang dikenakan kepada kami, ialah bahwa kami mengaku menjadi Nabi’.
“Mereka itu menuduh kami tidak dengan kenyataan, ialah bahwa kami mengaku menjadi Nabi”.
2.    Buku Ajaranku Penulis : Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Masih Mau’ud. As [alih basa: R. Ahmad Anwar] Penerbit : Direktorat Penerbitan Yayasan Wisama Damai Bandung Cetakan : Tahun 1966,
Buku ini menjelaskan kewajiban menjungjung tinggi al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW untuk mencapai kemuliaan di langgit. Bagi umat manusia diatas permukaan bumi ini kini tidak ada Kitab lain kecuali Al-Quran, dan bagi seluruh Bani Adam kini tidak ada seseorang Rasul dan Juru Syafaat kecuali Muhammad SAW. Buku ini menjelaskan untuk berusaha setiap umat Islam untuk mendambakan kecintaan yang semurni-murninya bagi Nabi yang agung ini, dan janganlah memberikan kepada siapapun sesuatu tempat yang lebih tinggi daripada beliau, agar supaya digolongkan diantara orang-orang yang telah diselamatkan.
3.        Djunanto, dalam Ahmadiyah antara Konsep dan Realita, penulis mengungkapkan bahwa konsep keagamaan Ahmadiyah terutama menyangkut konsep Pembaharuan Islam atau Tajdid Islam. Sudah barang tentu sebatas lingkup yang penulis tekuni, mengingat penulis lebih aktif di organisasi pendidikannya (PIRI) daripada di organisasi Ahmadiyahnya. Realitas ini pula yang Penulis kedepankan pada perspektif psikologis sosiologis. Ada hal-hal yang bersifat internal maupun eksternal yang melingkupi kelahirannya sebagai sebuah “Asbabun Nuzul”. Hal ini penting dikemukakan untuk membantu kita memahami segala aspek yang terkait dengan keberadaan Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan. Selain itu dengan mengetahui aspek kesejarahannya kita akan mampu untuk memposisikannya secara proporsional, sehingga tidak terjebak kepada bentuk-bentuk pengkultusan yang menjerumuskan ataupun pelecehan yang menyesatkan. Pada Gerakan Ahmadiyah corak pemikiran tentang pembaharuan lebih menonjolkan sifat “mahdiistik  messianistik” dengan  jalan “mencari” bukan  menunggu  “petunjuk” Allah. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa pemaknaan terhadap sebuah konsep ataupun ayat Quran dan Hadis Nabi. Ahmadiyah menempatkan konsep “Nubuwat” (informasi  dari Allah tentang sesuatu yang akan terjadi di masa Nabi hingga akhir zaman) menjadi hal sangat penting. Nubuwat adalah desain Allah yang merupakan manifestasi kehendak-Nya dengan jalan memberikan “wahyu” (bimbingan) kepada segenap makhluk-Nya. Ini sekaligus merupakan penegasan tentang konsep kembali kepada Al Quran dan Sunnah, sebagai rujukan di dalam setiap gerakan dan pemikiran Ahmadiyah. Meskipun demikian tidak berarti Ahmadiyah meninggalkan pemikiran rasional, justru pemikiran rasionalnya dikedepankan untuk merespon agenda Allah. Tidak terkecuali bahkan Mirza Ghulam Ahmad adalah bagian dari agenda Allah tersebut. Tugas  manusia adalah mengambil peran di dalam keseluruhan agenda Allah dan untuk itu semua maka manusia harus   menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai“frame of reference” dari seluruh kegiatan manusia, begitu juga halnya sebuah organisasi.
4.        Buku Gerakan Pembaharuan Dalam Islam yang ditulis S. Ali Yasir, Ketua Pengurus Bsar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI). Menurut penulis perlu adanya lembaga kenabian, penjagaan Illahi terhadap nubuwat Muhammad dan al-Masih serta al-Mahdi yang dijanjikan, termasuk tanda-tanda kedatangannya dan tugas-tugasnya.[6]
D.      Metodologi
            Sehubungan dengan term Studi Islam, metodologi diartikan sebagai suatu kajian atau seperangkat konsep-konsep tentang paradigma, pendekatan dan metode yang dipergunakan untuk mengkaji dan meneliti Islam sebagai obyek studi.[7]
            Sesuai dengan permasalahan yang diteliti penulis, kajian ini menggunakan pendekatan sejarah yang bertumpu pada empat kegiatan pokok, meliputi : (1) Heureustik, kegiatan menghimpun jejak-jekaj masa lampau, (2) Kritik (sejarah), menyelidiki apakah jejak-jejak tersebut asli, (3) Interprestasi, menetapkan saling hubung antar fakta  yang diperoleh, (4) Penyajian, menyampaikan sintesis yang diperoleh  dalam satu bentuk kisah sejarah.[8]
            Tulisan ini menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang keberadaannya dapat dilihat dalam perspektif gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Pendekatan ini menghasilkan ketercapaian sebuah penulisan sejarah kritis yang mampu menelusuri latar belakang, hubungan-hubungan yang terkait, kecenderungan-kecenderungan yang tumbuh, serta perkembangan Ahmadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang menekankan bidang dakwah.
Gerakan Ahmadiyah juga mempertanyakan pesan teologis dalam menghadapkan diri kepada lingkungan sosial dan kultural yang mengitari kenyataan  bathiniah,  proses tersebut secara atraktif akan melahirkan pemahaman agama secara rasional dan regional, mempermasalahkan konsistensi antara ajaran dan keharmonisan sosial, mendorong timbulnya sikap apologis terhadap serangan pihak lain, serta menekankan pentingnya akhlak dalam aktivitasnya, sehingga dapat dipahami mengapa dalam kegiatannya Ahmadiyah menekankan pelaksanaan doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern menurut versinya dan mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.[9]
E.  Ruang Lingkup.
Kasus kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah di berbagai daerah seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan lainnya beberapa bulan terakhir membuktikan bahwa "main hakim" sendiri masih menjadi modus operandi kelompok Islam dominan dalam menyelesaikan persoalan internal umat Islam. Yang lebih parah, kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, seolah buta dan bisu menyaksikan sebagian umat Islam yang lain paham itu dianiaya tanpa ada pembelaan. Kasus ini dianggap "angin lalu" yang tidak perlu diperhatikan.
Yang menarik, meski anggota Ahmadiyah "dianiaya tiada henti" oleh mereka yang mengklaim umat Islam Indonesia, mereka tetap tidak terpancing untuk melawan dengan kekerasan pula. Mengapa demikian?  Karena dalam doktrin Ahmadiyah, kekerasan tidak boleh dilakukan baik untuk alasan dakwah ataupun lainnya. Bagi mereka, jihad lebih berarti menggunakan pena, daripada menggunakan parang, pedang, dan senjata yang dekat dengan kekerasan lainnya. Tidak mengherankan, jika mereka justru menempuh jalur hukum untuk menghadapi kelompok Islam yang gemar melakukan kekerasan itu.
Buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia ini memaparkan secara komprehensip asal muasal gerakan Ahmadiyah di India, perkembangan Ahmadiyah di Indonesia sejak tahun 1920-1942, berbagai strategi dan gerakan Ahmadiyah di Indonesia, dan perkembangan mutakhir tentang Ahmadiyah di Indonesia. Buku ini terbit pada momentum yang sangat tepat, di saat anggota Ahmadiyah Indonesia di berbagai daerah mengalami ketakutan, dan kekhawatiran karena serangan dan kekerasan yang bisa menimpa mereka kapan saja. Buku ini mengisi kekosongan tentang Ahmadiyah yang selama ini banyak disalahpahami orang. Di satu sisi, banyak orang tidak tahu betul bagaimana sebenarnya Ahmadiyah dan doktrin-doktrinnya, di sisi lain pada kenyataanya aparat kepolisian dan pemerintah tidak mampu (atau tidak mau?) melindungi anggota Ahmadiyah yang teraniaya itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena negara membiarkan antarkelompok intraagama "berbaku hantam" tanpa ada mekanisme hukum yang mampu menjembati dan menyelesaikannya.
1.      Asal muasal Gerakan Ahmadiyah di India.
Secara historis, berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini. Mirza lahir pada 13 Pebruari 1835 di desa Qodian Punjab, India dan meninggal tahun 1908 di Lahore. Ia memiliki darah ningrat, karena ia keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temur, dinasti Mughal. Gerakan Ahmadiyah lahir di India pada tahun 1888. [10]
Sesudah India menjadi koloni Inggris, umat Islam India semakin terisolasi dengan sikap-sikap lama (baca: konservatif) yang masih dipelihara. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama sesudah terjadi pemberontakan Mutiny tahun 1857 masehi. Titik pijak kelahiran Ahmadiyah dimulai ketika umat Islam India mengalami kemunduran dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan lainnya.
Menurut Wilfred Cantwell Smith, Ahmadiyah lahir di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dengan sikap yang baru, karena infiltrasi budaya (dari Inggris), serangan gencar kaum misionaris Kristen, dan berdirinya Universitas Aligarh. Ahmadiyah lahir sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru dan serangan Hindu (Arya Samaj). Selain itu, juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarhnya.[11]
Selain itu, secara internal umat Islam pada masa itu baik di India maupun luar India berada kondisi yang memprihatinkan. Sikap jumud dan fatalistik membuat umat Islam statis sehingga umat Islam mengalami kemunduran termasuk dalam bidang keagamaan. Dalam konteks ini,  Ahmadiyah lahir sebagai protes atas kemorosotan Islam pada saat itu yang sebagai besar di bawah kungkungan kolonialisme negara-negara Barat.
Mirza Ghulam Ahmad melakukan pembaruan Islam dalam hal sebagai berikut:
a.    Masalah Kematian Nabi Isa a.s. (al-Mahdi dan al-Masih).
Menurut Ahmadiyah doktrin tentang al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al-Masih di akhir zaman, dikalangan Ahmadiyah Lahore maupun qodian sama sekali tidak ada perbedaan, dan justru  ajaran ini berbeda dengan pandangan kaum sunni. Al- Mahdi bagi Ahmadiyah dipahami sebagai seorang yang diutus oleh Tuhan sebagai mujaddid (pembaru) dengan sebutan Nabi Haqiqi dan Nabi Lughawi bagi Ahmadiyah Lahore[12] dan sebagai Nabi buruzi dan Nabi Zhilli bagi Ahmadiyah Qodiyan yang kedatangnnya telah dijanjikan oleh Allah sendiri.[13] Dialah Mirza Ghulam Ahmad. Selain sebagai al Mahdi,  Mirza Ghulam Ahmad juga berperan sebagai al-Masih yang mempunyai persamaan sifat dengan Isa ibn Maryam.  Bagi Ahmadiyah munculnya al-Mahdi berorientasi pada pembaruan pemikiran, khususnya dalam bidang akidah dan bukan berlatar belakang politik sebagaimana Syi’ah.[14]
b.    Masalah Mujaddid (Pembaru).
Menurut  Ahmadiyah Lahore, istilah pembaharuan yang biasa disebut tajdid mempunyai pengertian mengembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya adalah dengan melenyapkan kesestan-kesesatan yang menyerbu umat Islam, menghdupkan iman umat Islam yang sedang surut, dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.[15]
Ahmadiyah berpandangan , Allah akan membangkitkan seorang khilaffah atau mujaddid pada permulaan tiap-tiap abad.[16] Tugas mujaddid adalah menghilangkan konsepsi-konsepsi asing dan kotor yang masuk kedalam agama Islam dan menunjukan gambaran-gambaran Islam yang asli dan murni.[17] Tugas mujaddid ditentukan oleh kebutuhan dan keadaan pada waktu mereka dibangkitkan. Ada gua hal dua hal pokok sebagai ciri mujaddid : pertama, mujaddid muncul pada permulaan abad dan kedua, ia mengumumkan bahwa dirinya diangkat oleh Allah sebagai mujaddid.[18] Dari uraian di atas serta dengan memperhatikan cirri-ciri mujaddid tersebut, Ahmadiyah (Lahore) mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad, pendiri gerakan Ahmadiyah, selain sebagai al-Masih dan al-Mahdi, ia juga sebagai mujaddid abad ke 14 H., yang diangkat oleh Allah sendiri untuk membuat Bahtera Nuh, yaitu Gerakan Ahmadiyah.
c.    Masalah Khilafah.
Ahmadiyah Lahore berpandangan bahwa setelah khulafau’ar Rasyidun, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut Ahmadiyah Qodiyan, semua nabi adalah khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam Ahmad.
d.   Masalah Jihad
Kaum muslimin pada umumnya mengartikan Jihad sebagai tindakan memerangi orang-orang kafir dengan kekuatan senjata. Sedang menurut ajaran Ahmadiyah, Jihad adalah suatu perjuangan besar memenangkan Islam yang caranya bukan hanya dengan perang senjata saja, seperti pada zaman Islam terdahulu. Tapi khususnya di zaman mutakhir ini, Jihad berarti berkorban dan berjuang keras menyiarkan keindahan dan kebenaran Islam secara damai, sehingga dengan demikian orang-orang kafir tunduk kepada kebenaran universal yang diajarkan Islam tanpa suatu paksaan (dalilnya “Laa ikraaha fiddien!”)
e.    Masalah Wahyu.
Wahyu Tuhan tidak hanya diperuntukan bagi para Nabi dan Rasul  saja, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan benda-benda mati, dan wahyu Tuhan masih akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir tidak hanya terbatas sampai Nabi Muhammad SAW.[19]
f.     Masalah Kenabian oleh Ahmadiyah Qadian
Masalah krusial lain yang dihadapi Ahmadiyah dalam menghadapi kaum muslimin non Ahmadiyah yaitu pengakuan Ahmadiyah Qadian bahwa Pendiri Ahmadiyah adalah seorang Nabi. Masalah kenabian H.M.Ghulam Ahmad menjadi sorotan tajam ummat Islam, doktrin kenabian ini adalah sebab utama penolakan kaum muslimin umumnya terhadap ajaran Ahmadiyah. Ahmadiyah Lahore, yang juga menolak kenabian H. M. Ghulam Ahmad sama seperti kaum muslimin yang lain, seharus-nya menjadi garda terdepan untuk mengoreksi doktrin kenabian Ahmadiyah Qadian yang keliru ini.
Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa hanya dua alternatif yang bisa dipilih orang Qadiani. Pertama, jika tetap berpegang pada doktrin kenabian, maka Ahmadiyah Qadian akan dikeluarkan dari masyarakat muslimin dan harus menjadi agama sendiri di luar Islam. Kedua, mencabut doktrin kenabian, mengakui kembali HM Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid, maka Ahmadiyah Qadian bergabung dengan Ahmadiyah Lahore bersatu bersama kaum muslimin lainnya membangun masyara-kat dunia baru yang tercerahkan ajaran Islam.
Ahamadiyah yang mangajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan persoalan ini dipandang sangat mendasar. Ahmadiyah (Qodian) memahami kenabian ada tiga klasifikasi :
1.      Nabi Sahibu al-syari’ah dan Mustaqail, artinya nabi yang membawa syari’at (hukum-hukum) untuk manusia. Mustaqillah, artinya nabi dengan tidak karena hasil itha’at, mengikuti kepada nabi sebelumnya. Seperti Nabi Musa a.s. beliau menjadi nabi bukanlah hasil dari mengikuti nabi atau syari’at sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan membawa Taurat, begitu pula Nabi Muhammad saw. Nabi semacam ini dapat juga disebut Nabi Tasyri’I dan Mustaqil (langsung).
2.      Nabi Musytaqil Ghair al-Tasyri’I, yaitu ia menjadi nabi dengan langsung bukan hasil mengikut kepada nabi sebelumnya, tetapi tidak membawa syari’at baru. Ia digabungkan oleh Tuhan kepada syari’at nabi sebelumnya. Artinya ia ditugaskan Tuhan menjalankan syari’at yang dibawa nabi sebelumnya. Seperti nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Nabi Isa a.s. Kesemuanya itu menjadi nabi secara langsung (mustaqil), tidak karena hasil mengikuti nabi Musa atau nabi yang lain sebelumnya. Mereka dengan langsung diangkat Tuhan menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syari’at Taurat (syari’at Nabi Musa. A.s.).
3.      Nabi Zhilli/Buruzi, Ghair al-Tasyri’I, artinya ia mendapat anugrah Allah menjadi nabi semata-mata hasil kepatuhan kepada Nabi sebelumnya dan juga mengikuti syari’atnya. Jadi kenabian itu di bawah kenabian sebelumnya dan tidak ada syari’at baru,[20] seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad saw.[21]
Menurut paham Qadian, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah berakhir, karena lembaga kenabian telah tertutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari’at akian tetap berlangsung. Dan seorang Nabi tanpa membawa syari’at, baru bisa datang asal ia adalah seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian Mirza Ghulam Ahmad adalah dalam kategori ke tiga di atas, yakni seorang nabi buruzi yang berdampak anarkis di kalangan sebagian masyarakat Islam Indonesia, yang berkeyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi lagi, sekaligus muncul fatwa MUI.
Setelah Hazrat Mirza Ghulam Ahm ad wafat, sebagai penerus pimpinan organisasi Ahmadiyah adalah Hazrat Maulana Al-Hajj Hakim Nuruddin. Beliau melanjutkan sebagai penerus perjuangan dakwah Islam hingga wafatnya pada tanggal 13 Maret 1914, jam 14.00. Setelah beliau wafat kemudian dilaksanakan pemilihan untuk mengganti penerus perjuangan dakwah berikutnya dan kemudian terpilihlah Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad sebagai pengganti Maulana Alhajj Hakim Nuruddin. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad adalah putera Almarhum Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Pada tanggal 14 Maret 1914, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad mengeluarkan pernyataan:

Ø  H. M. Ghulam Ahmad adalah Nabi.
Ø  H. M. Ghulam Ahmad adalah “Ahmad” yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6.
Ø  Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepada beliau adalah keluar dari Islam.[22]
Pernyataan yang menggemparkan ini menyebabkan hampir semua ummat Islam terusik dan tidak menyetujui. Berikut adalah pernyataan resmi dari Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad:
Maulana Muhammad Ali telah menyatakan telah terjadi perubahan kepercayaan saya dalam tiga perkara. Pertama, saya telah membuat konsep bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi Hakiki. Kedua, bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah “Ahmad” yang diramalkan kedatangannya oleh Nabi Isa dalam Al-Qur’an Surat ke 61 (As-Shaf) ayat ke 6. Ketiga, bahwa seluruh kaum muslimin yang tidak bergabung bersama Mirza Ghulam Ahmad, meskipun tidak tahu menahu, adalah kafir, diluar Islam. Saya mengaku itulah kepercayaan saya.” (Aina Sadaqat, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad).[23]
Dengan adanya pemyataan yang menggemparkan itu, Maulana Muhammad Ali yang menjabat sekretaris Imam HM Ghulam Ahmad tidak menyetujui dan hijrah ke Lahore. Beliau bersama Khawaja Kamaluddin, Maulana Sadruddin dan anggota senior yang lain membentuk Ahmadiyah Anjuman Ishaati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) dengan tujuan untuk mengembalikan Ahmadiyah kepada akidah Islam sebenarnya yang telah diamanatkan oleh Imam HM Ghulam Ahmad.
Kemudian kelompok yang menyetujui pernyataan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebut kelompok Qadiani, sedang yang tidak menyetujui disebut kelompok Lahore, namun ada juga yang meyebut sebagai Ahmadiyah Lahore. Demikianlah Ahmadiyah yang didirikan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan dimulai dengan 40 orang yang berbai’at pada tahun 1891, akhirnya pada tahun 1914 pecah menjadi dua organisasi yang berbeda prinsip, yaitu:
Ø  Ahmadiyah Lahore, yang mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid, dipimpin oleh Maulana Muham-mad Ali. Sebagai akibat pengakuan Mujaddid ini maka para anggota Ahmadiyah Lahore boleh shalat makmum di belakang imam shalat bukan Ahmadi dan boleh menikah dengan muslim/muslimah bukan Ahmadi.
Ø  Ahmadiyah Qadian, yang mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Sebagai akibat pengakuan Nabi ini maka seluruh anggota Ahmadiyah Qadian tidak diizinkan shalat makmum di belakang imam shalat bukan Ahmadiyah Qadian dan dilarang menikah dengan muslim/muslimah bukan Ahmadiyah Qadian.
Dapat disimpulkan secara umum bahwa Ahmadiyah adalah aliran modern dalam agama Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di kota Qadian di daerah Punjab, sebelum tahun 1900. Pengikutnya banyak di Punjab (Pakistan), sekitar Mumbay (India), Afghanistan, Iran, beberapa negara Arab, juga ada di Indonesia.
Dalam rangka memenuhi kebenaran hadits: “Matahari akan terbit dari Barat!”, yang ditafsirkan Mujaddid Mirza Ghulam Ahmad bahwa cahaya Kebenaran Islam akan muncul di negara Barat, maka Ahmadiyah bertekad memperkenalkan Islam ke dunia Barat. Pada 1911, Khawaja Kamaluddin datang ke London, mendirikan Woking Muslim Mission di Masjid kota Woking; London. Pada 1924, Maulana Sadruddin mendirikan masjid dan pusat penyiaran Islam di Berlin, Jerman. Kemudian pusat-pusat penyiaran Islam oleh Ahmadiyah banyak terdapat di Eropa dan Amerika yang berhasil mengislamkan ribuan orang Barat. Sekarang ini kota Dublin, di Ohio, Amerika Serikat, menjadi pusat penyiaran buku-buku Islam, termasuk tafsir Qur’an Suci dari Maulana Muhammad Ali, yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Walaupun banyak persamaan dengan ajaran Sunni (ahlus-sunnah wal jama’ah), ajaran aliran Ahmadiyah berbeda dalam beberapa  hal dengan kaum muslimin pada umumnya.
2.      Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia sejak Tahun 1920-1945.
Dua aliran Ahmadiyah masuk di Indonesia. Pada tahun 1924, Ahmadiyah Lahore masuk di Indonesia di Yogyakarta dengan pemukanya Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Sedangkan Ahmadiyah Qadian masuk dengan pemuka-nya Rahmat Ali, di Jakarta. Kedua Ahmadiyah tidak mencampuri urusan politik dan keduanya berpendirian bahwa agama Islam itu lebih tinggi daripada agama Kristen. Kegiatan Ahmadiyah tertuju kepada kalangan terpelajar.
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah berhasil menancapkan kuku penjajahannya. Tidak ada lagi perlawanan rakyat yang berarti. Menyadari bahwa Indonesia telah menjadi sekadar sapi perahan Belanda, atas usulan kaum sosialis seperti Van Deventer maka Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Wilhelmina melaksanakan Etische Politiek, atau politik balas budi di Indonesia, yang diumumkan pada September tahun 1901 di Parlemen Belanda. Kemudian dilaksanakanlah awal kegiatan pendidikan di Hindia Belanda, yang memberikan pendidikan sekolah berbahasa Belanda untuk Bumiputera. Akibat pendidikan itu maka lahirlah kaum terpelajar bumiputera yang mampu berbahasa Belanda yang dipakai untuk membantu kerja administrasi Belanda. [24]
Tetapi, bersamaan dengan diberikannya pendidikan kepada bumiputera, kesadaran kebangsaan di Hindia Belanda menjadi bangkit. Pada tahun 1905 Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam yang basisnya adalah pedagang di Laweyan, Surakarta.Kemudian seorang tokoh militan dari Surabaya yaitu Oemar Said Tjokroaminoto bergabung dalam SDI. Pada tahun 1911 dalam kongres SDI di Surabaya, SDI Cabang Surabaya mengusulkan perubahan Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam. Sarekat Islam yang baru memilih Oemar Said Tjokro-aminoto sebagai Ketua Central Sarekat Islam yang pertama, beliau selalu terpilih menjadi Ketua sampai wafatnya di tahun 1934.
Sementara itu pada tahun 1924, muballigh Ahmadiyah yaitu, Mirza Wali Ahmad Baiq dan Maulana Ahmad yang dalam perjalanan diutus Ahmadiyah Anjuman Ishaati Islam Lahore untuk menyiarkan Islam di Cina; di Singapura mendengar kabar bahwa Zending Kristen dan Missi Katholik di Hindia Belanda berkembang pesat. Maka kedua mubaligh Ahmadiyah itu memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanannya ke Cina, melainkan pergi ke Hindia Belanda untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman pengkristenan penjajah. Atas izin pusat Ahmadiyah di Lahore, kedua mubaligh itu pun pergi ke Jogjakarta.
Ahmadiyah datang ke Indonesia di mana Zending Kristen dan Missi Katholik berkembang pesat. Ahmadiyah datang dengan membawa missi “mematahkan salib dan membunuh babi”. Ahmadiyah suatu kelompok Islam rasional dan militan yang berani berdebat menantang pendeta Nasrani, tentang agama Kristen yang ketika itu sedang berkuasa. Kedatangan Ahmadiyah dengan pemikiran Islam yang berbeda dengan pemikiran Islam tradisional itu tentulah menarik perhatian kaum terpelajar untuk mempelajari Ahmadiyah untuk menimba ilmu melawan penjajah Belanda yang Kristen.
Dakwah Ahmadiyah terutama dilakukan melalui buku-buku tebal berbahasa Inggris dan Belanda serta buku-buku tipis berbahasa Melayu. Bagi kaum terpelajar yang terbiasa berbahasa Belanda dan Inggris, buku-buku Islam keluaran Ahmadiyah mendapat perhatian besar. Mengingat ketika itu belum terbit buku-buku standard agama Islam seperti Tafsir Qur’an, Kitab Fikh, Sejarah Nabi, dll yang berbahasa Melayu, maka kaum ter-pelajar pada umumnya mendapat pengetahuan dan pencerahan agama Islam melalui Ahmadiyah.
Itulah rahasia keberhasilan dakwah Ahmadiyah pada zaman pra kemerdekaan! Khususnya dengan bergabungnya Oemar Said Tjokroaminoto, Ketua Central Sarekat Islam yang juga anggota dan penganjur Ahmadiyah maka pengaruh pemi-kiran Islam Ahmadiyah mempengaruhi pola pikir para aktivis pergerakan kemerdekaan yang beragama Islam.
HOS Tjokroaminoto, Bung Karno dan Haji Agoes Salim, adalah ikon-ikon besar sejarah kemerdekaan Indonesia yang mendapat pencerahan pemikiran Islam dari pemikir dan penulis Ahmadiyah Lahore seperti Maulana Muhammad Ali, Khawaja Kamaluddin dll. Walaupun semula ulama Muhammadiyah menentang terjemahan tafsir Qur’an Suci Muhammad Ali, tetapi pada kenyataannya setelah versi tafsir Qur’an dalam bahasa belanda “De Heliege Qoer’an” oleh Soedewo PK terbit pada tahun 1935, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah, Jong Islametein Bond, Jong Java, dll. seperti Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Muhammad Roem, Mr. Jusuf Wibisono, Roeslan Abdoel Gani, dll., apalagi S. M. Kartosoewirjo, anggota Sarekat Islam yang murid HOS Tjokroaminoto. Kesemuanya adalah peminat tafsir Qur’an Suci oleh Maulana Muhammad Ali yang kontroversial itu.[25]
“Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih!”, tulis Bung Karno, murid HOS Tjokroaminoto, dalam suratnya dari Endeh 25 Nopember 1936. “Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula ia seorang mujaddid. Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyah yang saya dapat banyak faedah dari padanya: “Mohammad the Prophet” dari Mohammad Ali, “Het Evangelie dan den daad” Chawadja Kamaloeddin. “De bronnen van het Christendom”, dari idem, dan “Islamic Review” yang banyak memuat artikel yang bagus. Dari tafsir Qur’an buatan Mohammad Ali, walaupun ada beberapa fatsal yang tidak saya setujui, adalah banyak juga menolong kepada penerangan bagi saya. Dan mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa fatsal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, tokh pada umumnya ada mereka punya “features” yang saya setujui: mereka punya rationalisme, modernisme, mereka punya hati-hati terhadap hadits, mereka streven Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Islam. Buku-buku seperti “Het Evangelie van den daad” tidak ayal saya menyebut brilliant, berfaedah sekali bagi semua orang Islam”.[26]
Catatan: Walaupun bukan anggota Ahmadiyah, tetapi Bung Karno mengakui kebaikan dan keunggulan buku-buku Ahma-diyah. Yang dimaksudkan dengan buku-buku Ahmadiyah adalah buku-buku Ahmadiyah Lahore, tidak satu pun buku dari Ahmadiyah Qadian!
Banyak pemimpin Indonesia di awal kemerdekaan adalah simpatisan Ahmadiyah, ini berkat pengaruh Ahmadiyah pada organisasi Sarekat Islam, Moeslim Broederschap, Jong Islamieten Bond, Jong Java dan lain-lain. Ahmadiyah Lahore adalah juga merupakan Anggota Istimewa dari Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Posisi Ahmadiyah Lahore di Masyumi diwakili oleh H. Mahmoed Latjuba yang dulu menjadi Duta Besar R.I. di Pakistan dan di Mesir, atas dukungan Masyumi.
Sejarah mencatat bahwa perilaku para pemimpin tua di awal kemerdekaan Indonesia jauh lebih baik daripada perilaku pemim-pin Indonesia sekarang. Pada awal kemerdekaan para pemimpin lebih idealis, sekarang para pemimpin cenderung pragmatis dan materialis. Ini disebabkan karena pada awal kemerdekaan Ahmadiyah berhasil mencerahkan Islam melalui aktivis muda per-gerakan kemerdekaan yang kelak menjadi pemimpin bangsa Indonesia merdeka.
3.      Berbagai Strategi dan gerakan Ahmadiyah di Indonesia
Dalam berdakwah, Ahmadiyah menggunakan sikap yang sopan, santun, dan tidak suka
menempuh jalan kekerasan. Media yang digunakan dakwah antara lain:
Penerbitan dan Penerjemahan Al-Qur'an ke dalam 100 bahasa. Pada mulanya, ide ini muncul dalam rangka untuk memperingati perayaan 100 tahun jemaa’at Ahmadiyah yang berdiri sejak tahun 1889. Sampai pada tahun  2005 , telah terbit terjemah Al-Qur’an dalam 64 bahasa dari 100 bahasa yang ditargetkan. Terjemahn Al-Qur’an itu sebagian besar diterbitkan oleh International Publication Ltd., London. Jema’at Ahmadiyah telah mengembangkan lembaga pendidikan yaitu lembaga pendidikan sekolah agama yang terdiri atas tiga lembaga madrasah yakni : Madarasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Wustha dan Jamia’ah (akademi) dan Sekolah umumnya hanya berupa Taman Kanak-kanak (TK).[27]
Pada Masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, Ahmadiyah khususnya aliran Qodian, melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya ilmiah melalui kegiatan seminar, dialog dan kajian buku yang memberikan pencerahan terhadap sumbangsih pemikiran dunia Islam khususnya di Indonesia. Kegiatan kegiatan tersebut seperti seminar Media: Etika Komunikasi dan Format Siaran  Pertelevisian Muslim di Indonesia, seminar tentang Kebangkitan  Islam dan Pengentasan Kemiskinan Perspektif Sosiologis dan  Hadits Turunyan Nabi Isa a.s., seminar tentang Peradaban Islam menyongsong Millenium III, seminar tentang Revitalisasi  Nilai Tauhid unutk Kebangkitan Umat dalam Pluralitas Peradaban Moderen dan seminar tentang Agama dan Politik Kekerasan. Kegiatan Ahmadiyah berkaitan dengan dialog, antara lain : Dialog Membangun Umat Menuju Ummatan Wahidah:Membangun Umat Islam di Masa Depan, dialog yang diselengarakan oleh Forum Pakar Islam ini bermaksud melihat sejumlah indikasi menunjukan bahwa keharmonisan hubungan internal umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia ditengah-tengah pluralitas suku, agama, dan ras, berdampak positif terhadap pola kesadaran beragama masyarakat pada umumnya, terutama hubungan mayoritas dan minoritas. Adapaun kajiian buku Filsafat Ajaran Islam yang merupaka salah satu buku karya Mirza Ghulam Ahmad yang mendapat perhatian besar dari kalangan intelektual muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Sukanto Reksohadiprodjo (Rektor UGM Yogyakarta)[28], membaca buku ini maka manusia akan memiliki petunjuk lengkap untuk berprilaku karena buku tersebut berisi apa yang boleh, yang tidak boleh, serta yang harus dialakukan manusia di dalam menjalani hidupnya di dunia ini dan manusia dapat menghayati bahwa kemiskinan itu memang tidak layak sehingga setiap orang harus mengembangkan diri dan memiliki w3awasan lingkungan agar kehidupannya sehat serta makin produktif dalam mengembangkan pikiran utnuk pembangunan  selanjutnya. Ia menambahakan bahwa buku tersebut mengandung unsure dasar ekonomi yang didambakan orang dewasa ini.[29] Program penyiaran televisi melalui Muslim Television Ahmadiyah (MTA/Ahmadiyah Qadian). Media yang terakhir ini terbilang sangat canggih, karena media elektronik itu mampu menjangkau kawasan seluruh dunia dan beragam latar belakang agama. Dalam berbagai kesempatan dakwah, orang-orang Ahmadie sangat percaya diri menyebarkan ajarannya dengan cara berdebat terbuka. Sehingga, iklim dialogis sebenarnya mereka miliki sebagian dari strategi dakwah. Stasiun MTA merupakan saluran TV gratis yang tidak memerlukan kartu bayaran jenis apa pun. MTA disiarkan dalam 9 macam bahasa di dunia secara simultan. MTA memiliki studio di berbagai belahan dunia yang secara kontinu memberikan sumbangan acara bagi MTA sebagai cirri khas saluran Internasional yang berpusat di London, Inggris. Studio yang dimaksud adalah MTA German, Canada, Bangladesh, Australia, Pakistan, United State of America dan Indonesia yang bermarkas di Parung Bogor Jawa Barat.[30]


4.      Perkembangan Mutakhir tentang Ahmadiyah di Indonesia.
Memasuki periode Juli 2005, Jemaat Ahmadiyah, tiba-tiba menjadi Headline News media cetak maupun elektronik, nasional maupun lokal, dan menjadi buah bibir masyarakat. Awal kegemparan bermula dari aksi sekelompok kecil umat Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia (GUI), Pimpinan Habib Abdul Rahman Assegaf, mengepung dan menyerang Kampus Mubarak, Pusat Pendidikan dan Pusat Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Kemang, Parung, Bogor, Jabar, Jumat (15/07/05). Drama pengepungan dan penyerangan, berakhir dengan di evakuasinya sekitar 1350 penghuni kampus Mubarak, oleh aparat keamanan, setelah melalui negosiasi yang sangat alot.
Selang sehari setelah kasus tersebut, Pemda Kabupaten Bogor menerbitkan SKB, yang menyatakan: menutup Kampus Mubarak dan melarang Ahmadiyah dengan segala aktivitasnya diwilayah Kabupaten itu. Geger Ahmadiyah terus berlanjut, tatkala kekerasan terhadap Ahmadiyah terus merembet ke daerah-daerah di wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabuapetn Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan terus merangsek hingga ke Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, NTB, Bulukumba, Gowa dan Jeneponto, Sulsel, selama masa Pebruari hingga awal Maret 2006 lalu.
Ditengah kekerasan terhadap Ahmadiyah, di dalam bulan Juli 2005 itu juga, Majlis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan Fatwa yang menyatakan: Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, dan meminta Pemerintah untuk menutup Pusat-pusat Kegiatan Ahmadiyah dan melarang Ahmadiyah diseluruh wilayah NKRI. Fatwa ini merupakan fatwa ke dua dalam 25 tahun terakhir, setelah yang pertama tahun 1980.
Fatwa MUI melahirkan dimensi baru pemikiran dalam masyarakat. Sebagian ulama yang menolak Fatwa MUI menilai, MUI telah melegitimasi kekerasan terhadap Ahmadiyah, dan fatwa MUI itu merupakan pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Pro-kontra seputar Ahmadiyah tak kunjung berakhir, hingga Menteri Agama, Maftuh Basyuni, pun mengajukan opsi : Persoalan Ahmadiyah akan selesai jika Ahmadiyah kembali kepada Islam dengan akidah Muhammad adalah nabi terakhir, dan tiada lagi nabi sesudahnya. Atau, Ahmadiyah keluar dari Islam dan membuat agama baru, selain Islam.
Opsi Menag kedengarannya jitu. Tapi, sebagian masyarakat menilai Menag tidak proporsional dan sangat provokatif. Menag pun dipanggil Komisi VIII, DPR-RI, dan dimintai keterangan atas pernyataan kontroversinya itu. Masalah Ahmadiyah pun menggantung, tanpa kejelasan dan kepastian hukum. Entah untuk sampai kapan.
F.       Sumbangan dalam Keilmuan
Penelitian Gerakan Ahmadiyah ini bertujuan untuk mengungkap fakta
Sejarah Ahmadiyah sebagai gerakan keagamaan di Indonesia dan untuk mengetahui pengaruh serta kontribusi ahmadiyah dalam gerakan modern Islam di Indonesia abad ke 20.
Dari hasil penelitian dapat diharapkan, dapat menjadi sumber yang relatif komprehensif dan akurat tentang ahmadiyah di Indonesia, dapat mengungkapkan fakta-fakta sejarah baru mengenai dinamika gerakan keagamaan dan pemikiran Islam di Indonesia, dapat dipergunakan penyempurnaan terhadap penelitian sebelumnya, baik dalam masalah yang sama maupun berbeda.
G.  Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.     Secara historis, berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini. Ahmadiyah lahir di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dengan sikap yang baru, karena infiltrasi budaya (dari Inggris), serangan gencar kaum misionaris Kristen, dan berdirinya Universitas Aligarh. Ahmadiyah lahir sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru dan serangan Hindu (Arya Samaj). Selain itu, juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarhnya. Mirza Ghulam Ahmad melakukan pembaruan Islam dalam hal sebagai berikut: masalah kematian Nabi Isa a.s. (al-Mahdi dan al-Masih), masalah mujaddid, masalah wahyu, masalah kenabian, masalah khilafat, dan masalah Jihad. Dalam perkembanganya, Ahmadiyah "pecah" menjadi dua, yakni Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore.
2.     Ahmadiyah masuk ke Indonesia melalui pelajar Sumatera yang belajar di India dan kembali ke Indonesi sekitar tahun 1925. Mereka ini membawa tafsiran baru terhadap Al-Qur'an yang rasional. Karya-karya pemikir Ahmadiyah mulai menjadi bahan bacaan yang menarik. Sampai-sampai Haji Agus Salim (tokoh Sarekat Islam) menyatakan bahwa dari segala jenis tafsir Al-Qur'an, tafsir Ahmadiyalah (baca: The Holy Qur'an karya Maulana Muhammad Ali) yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar. Kegiatan Ahmadiyah menyebar di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bogor, Tasikmalaya, Sukabumi, Banjarnegara, Wonosobo, Kuningan, Lombok Timur, Purwokerta dan daerah lainnya. Sebagai gerakan dakwah, Ahmadiyah menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mahdiistis, yakni adanya suatu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi atau "juru selamat" yang mengemban misi melenyapkan kegelapan, dan menciptakan perdamaian di dunia.
3.     Dalam berdakwah, Ahmadiyah menggunakan sikap yang sopan, santun, dan tidak suka menempuh jalan kekerasan. Media yang digunakan dakwah antara lain: penerbitan, penerjemahan Al-Qur'an ke dalam 100 bahasa, lembaga pendidikan, seminar, dialog, kajian buku dan televisi melalui Muslim Television Ahmadiyah (MTA/Ahmadiyah Qadian). Media yang terakhir ini terbilang sangat canggih, karena media elektronik itu mampu menjangkau kawasan seluruh dunia dan beragam latar belakang agama. Dalam berbagai kesempatan dakwah, orang-orang Ahmadie sangat percaya diri menyebarkan ajarannya dengan cara berdebat terbuka. Sehingga, iklim dialogis sebenarnya mereka miliki sebagian dari strategi dakwah.
4.     Kasus kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah di berbagai daerah seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan lainnya beberapa bulan terakhir membuktikan bahwa "main hakim" sendiri masih menjadi modus operandi kelompok Islam dominan dalam menyelesaikan persoalan internal umat Islam. Yang lebih parah, kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, seolah buta dan bisu menyaksikan sebagian umat Islam yang lain paham itu dianiaya tanpa ada pembelaan. Kasus ini dianggap "angin lalu" yang tidak perlu diperhatikan.
Yang menarik, meski anggota Ahmadiyah "dianiaya tiada henti" oleh mereka yang mengklaim umat Islam Indonesia, mereka tetap tidak terpancing untuk melawan dengan kekerasan pula. Mengapa demikian? Karena dalam doktrin Ahmadiyah, kekerasan tidak boleh dilakukan baik untuk alasan dakwah ataupun lainnya. Bagi mereka, jihad lebih berarti menggunakan pena, daripada menggunakan parang, pedang, dan senjata yang dekat dengan kekerasan lainnya. Tidak mengherankan, jika mereka justru menempuh jalur hukum untuk menghadapi kelompok Islam yang gemar melakukan kekerasan itu.
Membaca buku ini kita akan lebih dewasa dalam menyikapi gerakan Ahmadiyah di Indonesia yang akhir-akhir ini mereka yang menjadi "korban" serangan fisik dan psikologis dari kelompok Islam yang tidak toleran. Buku ini memang tidak berpotensi untuk mendukung atau menolak pihak-pihak yang pro dan kontra, melainkan untuk mendudukkan secara proporsional pemikiran dan gerakan Ahmadiyah dalam peta pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia. Pesan utama buku ini bahwa kita harus menghormati dan menghargai perbedaan tafsir terhadap Al-Qur'an, yang berimplikasi pada keyakinan yang berbeda.































DAFTAR PUSTAKA

Djojosugito, Susmojo, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, Yogyakarta: Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), 1984.

Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Melenyapkan Kesalahfahaman Antara Jema’at Ahmadiyah Indonesia dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) cabang Yogyakarta, 1980.

Mahmud, Basyiruddin , Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, trj. Malik Aziz Ahmad Khan, Parung: Jemaat Ahmadiyah Movement: A History and perspective, Delhi: Manohar Book Sevice, 1974.

Nurhakim, Moh., Metodologi Studi Islam, Malang: UMM Pres, 2004.

R. Batuah,Syafi, Beberapa Persoalan Ahmadiyah, Sinar Islam, 1978.

Soeropranoto, Racmat Basuki , Ahmadiyah dan Kondisi Bangsa Indonesia Saat Ini, Yogyakarta: Makalah,2006,  elkis@indosat.net.id,

Susanto, Noto Nugroho, Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1974.

Wizdan SZ, Aden  et.al., Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007.

Yasir,  S. Ali, Ahmadiyah dan Perkembangan Pemikiran di Indonesia, Yogyakarta: Makalah,2006,  elkis@indosat.net.id,

Yasir,  S. Ali , Gerakan Pembaruan dalam Islam, Jilid 1, Yogyakarta: P.P. Yayasan Perguruan Islam Indonesia, 1978.

Yasir,  S. Ali ,Pengantar Pembaruan dalam Islam, Yogyakarta: P.P.Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), 1981.

Zulkarnain,Iskandar, Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2006.







[1] Kata Pengantar oleh Ahmad Syafi’I Ma’arif. Lihat Aden Wizdan SZ et.al., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. Ix.
[2]  Ibid,. hlm. x.
[3]Kata Pengantar oleh Azyumardi Azra. Lihat Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. ix.
[4] Ibid,. hlm. 1.
[5] Ibid., hlm. Ix.
[6] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaruan dalam Islam, Jilid 1, (Yogyakarta: P.P. Yayasan Perguruan Islam Indonesia, 1978), hlm. 6-88.
[7] Moh. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Malang: UMM Pres,2004), hlm.2.
[8] Nugroho Noto Susanto, Norms-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI), 1974, hlm.17.
[9] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 17.
[10] Basyiruddin Mahmud, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, trj. Malik Aziz Ahmad Khan (Parung: Jemaat Ahmadiyah Movement: A History and perspective (Delhi: Manohar Book Sevice, 1974), hlm. 22-23.
[11] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, Hlm. 58.
[12] Nabi Haqiqi adalah Nabi yang membawa syari’at sedangkan Nabi lughawi adalah seorang manusia biasa , namun ia mempunyai  persamaan cukup besar  dengan para nabi, yakni ia menerima wahyu. Hanya saja, wahyu yang ia terima tidak bersifat tasyri’I meskipun mengandung pengetahuan atau pengajaran tentang hal yang gaib. Lihat Susmojo Djojosugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Yogyakarta: Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), 1984, hlm.4.
[13] Nabi buruzi atau zhili adalah hamba Tuhan yang mendapat anugrah dari Allah menjadi Nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya  dan juga karena mengikuti syari’atnya. Karena itu, tingkatannya  berada dibawah kenabian sebelumnya  dan ia juga tidak  membawa syari’at baru. Lihat Syafi R. Batuah, Beberapa Persoalan Ahmadiyah, Sinar Islam, 1978. Hlm. 13-14.
[14] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, Hlm. 83-90.
[15] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaruan, hlm. 46-47.
[16] Ibid., hlm. 42.
[17] Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Melenyapkan Kesalahfahaman Antara Jema’at Ahmadiyah Indonesia dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, ( Yogyakarta: Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) cabang Yogyakarta, 1980), hlm. ii.
[18] Ibid.
[19] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 101.

[20] Lihat Sinar Islam, No 4 Th. VI, April 1956, hal. 13-14.
[21] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 102-103.
[22] S. Ali Yasir, Pengantar Pembaruan dalam Islam, (Yogyakarta: P.P.Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) 1981), hlm. 50.
[23] Ibid.
[24] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 145-146.

[25] Racmat Basuki Soeropranoto, Ahmadiyah dan Kondisi Bangsa Indonesia Saat Ini, (Yogyakarta: Makalah,2006). Hlm.4., lihat lebih lanjut elkis@indosat.net.id, diakses hari selasa tanggal 10 Maret 2009 pukul 20.15.
[26] S. Ali Yasir, Ahmadiyah dan Perkembangan Pemikiran di Indonesia, (Yogyakarta: Makalah,2006). Hlm. 5. lihat lebih lanjut elkis@indosat.net.id, diakses hari selasa tanggal 10 Maret 2009 pukul 20.45.

[27] Iskandar Zulkarnain,.Gerakan Ahmadiyah,… hlm. 287.
[28] Ibid., hlm 300-307.
[29] Ibid.
[30] Ibid., hlm. 311.