Kamis, 02 Desember 2010

INTERNALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

INTERNALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
Oleh : Aang Taufik

(Guru SMP Negeri 2 Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat)

Abstraksi

Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia. Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja.
Kata Kunci: Internalisasi, Pendidikan Agama Islam

I.     Pendahuluan
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang terbaru telah disahkan Presiden  pada tanggal 8 Juli 2003 ( Nomor 20 Tahun 2003). Dibanding dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebelumnya (Nomor 2 Tahun 1989), Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru ini sarat dengan tuntutan yang cukup mendasar karena “harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global”. Salah satu upaya yang segera dilakukan untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah “pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.[1]
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah atau di madrasah, dalam pelaksanaannya masih menunjukkan berbagai permasahalan yang kurang menyenangkan. Seperti halnya proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah saat ini masih sebatas sebagai proses penyampaian “pengetahuan tentang Agama Islam.” Hanya sedikit yang arahnya pada proses internalisasi nilai-nilai Islam pada diri siswa. Hal ini dapat dilihat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru masih dominan ceramah. Proses internalisasi tidak secara otomatis terjadi ketika nilai-nilai tertentu sudah dipahami oleh siswa. Artinya, metode ceramah yang digunakan guru ketika mengajar Pendidikan Agama Islam berpeluang besar gagalnya proses internalisasi nilai-nilai agama Islam pada diri siswa, hal ini disebabkan siswa kurang termotivasi untuk belajar materi Pendidikan Agama Islam.[2]
Dalam upaya untuk merealisasikan pelaksanaan pendidikan agama Islam, guru dituntut untuk menguasai pengetahuan yang memadai dan teknik-teknik mengajar yang baik agar ia mampu menciptakan suasana pengajaran yang efektif dan efisien atau dapat mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.[3]   

II.     Pembahasan
A.      Kurikulum dan Materi PAI Berbasis Sosial Planning
Pendidikan adalah salah satu sarana pengembangan potensi diri manusia untuk memberikan bekal-bekal kehidupan daripadanya. Untuk memenuhi bekal hidup yang relevan dan usefull bagi manusia, proses pendidikan tersebut haruslah mutu dan historis. Dalam arti pendidikan tersebut harus sesuai dengan konteks di mana manusia itu tinggal. Jika tidak maka proses pendidikan tersebut tak akan memberikan manfaat apa-apa baginya. Bahkan malah membuat manusia tersebut bak keledai yang tersesat dalam lingkungannya sendiri. Dia tidak tahu apa yang harus ia perbuat dalam hidup dan lingkungannya. Hal yang terakhir inilah biasanya disebut dengan a-historisitas.
Fenomena di atas bisa kita cross chek langsung pada kenyataan hari ini yang, menurut penulis, kurikulumnya cenderung a-historis. Meskipun pemerintah sudah menganjurkan untuk diberi waktu lumayan banyak untuk kurikulum lokal, namun dalam kenyataannya , kurikulum lokal tersebut lebih cenderung dimasuki atau digunakan untuk mengenalkan potensi-potensi daerah secara umum, lebih jelasnya adalah budaya dominan. Dan hal ini wajib diketahui oleh seluruh siswa. Kita tahu sendiri, bahwa setiap siswa mempunyai bakat, minat dan latar belakang sendiri-sendiri, maka tidak bisa ditinggalkan sebagimana di atas.
Kembali ke pembahasan a-historis, ketika penulis pulang ke rumah penulis pernah dikeluh kesahi oleh orang tua seorang siswa salah satu sekolah bergengsi di Kuningan. Dia mengatakan dengan wajah yang sedih dan heran, katanya" "kenapa ya?, setelah anak saya kuliah kok seakan-akan sudah tidak tahu dengan pekerjaan yang ada di rumah, maksudnya pekerjaan sehari-hari yang nota benenya dia adalah anak seorang petani, seakan-akan sudah tidak tahu, terus kemudian sebenarnya pekerjaan itu kan sumber biaya untuk sekolah dia?". Dari fenomena ini muncul dua kemungkinan, pertama, karena memang anaknya memang bandel, kedua, karena memang pengaruh kurikulum dan sosiologi kampusnya yang a-historis.
Untuk mengecek kemungkinan pertama, penulis sering bersama anak orang tua itu dan sedikit meneliti dan mendapatkan keterangan bahwa anaknya di sekolah tergolong anak yang cerdas dan rajin, bahkan dia kurang memperhatikan kegiatan-kegiatan ekstrasekolah karena memberatkan masalah sekolahnya. Maka keadaan ini sudah bisa mementahkan kalau masalah kepribadian anaknya tersebut sebagai penyebab terjadinya ketercerabutan dia dari lingkungan keluarga dan lingkungannya. Selain itu fenomena ini juga mengerucutkan pada kemungkinan kedua, yaitu masalah kurikulum dan sosiologi sekolah yang a-historis.
Kedua, kurikulum sosiologi sekolah yang a-historis tidak lain adalah kurikulum-kurikulum yang diberikan tidak pernah berkaitan langsung dengan dunia siswa itu sendiri, atau ada kaitannya tetapi tidak disentuhkan langsung pada kenyataannya. Jika seseorang sudah merasa memiliki maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga, memanfaatkan dan mengembangkannya bukankah hal ini adalah salah satu tujuan diadakannya Pendidikan?
Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun Pendidikan juga menjadi barometer tingkat kemajuan bangsa bersangkutran,[4] sedang umat Islam adalah bagian tersebar dari bangsa Indonesia. Masalah dan system pendidikan menjadi kian penting dan strategis karena dapat dijadikan fundamen sosial guna mendorong proses transformasi masyarakat. Karenanya pendidikan berkaitan langsung dengan isu-isu krusial seperti kemiskinan, kesejahteraan, kesehatan, kohesi sosial, dan demokrasi. Pendidikan Islam pada masa kini harus lebih kontekstual dan membumi, tidak diarahkan pada nilai-nilai moral atau etika secara semu apalagi indoktrin ioriented. Tidak berkutat pada penghapalan teori dan rumus-rumus saja, tetapi harus diarahkan untuk melatih kemampuan berfikir dalam merespon setiap perubahan dan poerkembangan yang muncul serta mengambil alternative pada persoalan-persoalan tersebut.[5]
Dalam pendidikan, kurikulum merupakan sebuah proses pembelajaran yang baik dan terencana memiliki target dan tujuan. Perubahan kurikulum dari kurikulum berbasis isi ke kurikulum berbasis konpetensi yang sekarang dikenal dengan KTSP atau kurikulum 2006 megakibatkan perubahan paradigma pada proses pembelajaran. Dari apa yang diajarkan (isi) pada apa yang harus dikuasai peserta didik yaitu kompetensi. Kaitannya kurikulum berbasis kompetensi ini dengan PAI ada hal yang lebih pokok yang memang diharapkan dan bukan hanya dalam target tujuan PAI tapi juga sebagai pendidikan yang lahir dari agama Islam diharapkan dapat berkompetensi jasmani dan rohani, artinya berkompetensi dalam hal sikap, skill, pengetahuan secara afektif, kognitif, psikomotorik sesuai dengan ajaran agama Islam dalam aspek jasmani.

B.       Penilaian Afektif Pendidikan Agama Islam
1.    Hakikat Pembelajaran Afektif
Hasil belajar menurut Andersen bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan.[6] Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
Menurut Popham (1995),[7] ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang  berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.

2.    Tingkatan Ranah Afektif
Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif.[8] Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.[9]
a.    Tingkat receiving
Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
b.    Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus.  Misalnya  senang   membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
c.    Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
d.   Tingkat organization
Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.
e.    Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada  waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.

 

3.    Karakteristik Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif.[10]  Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.  Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1.    Sikap
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975)[11] sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999).[12] Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2.    Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.[13] Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a.    Mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b.    Mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c.    Pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d.   Menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e.    Mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f.     Acuan dalam menilai  kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g.    Mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h.    Bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i.      Meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3.    Konsep Diri
Menurut Smith,[14] konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain.  Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut.
a.    Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
b.    Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
c.    Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
d.   Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
e.    Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f.     Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
1)   Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
2)   Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
3)   Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
4)   Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
5)   Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
6)   Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
7)   Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
8)   Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
9)   Peserta didik mampu menilai dirinya.
10)    Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
11)    Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
4.    Nilai
Nilai menurut Tyler (1973:7),[15] yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya  satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5.    Moral
Piaget dan Kohlberg[16]  banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement  moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada  bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Ranah afektif lain yang  penting adalah:
a.    Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran  dalam berinteraksi dengan orang lain.
b.    Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
c.    Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
d.   Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.

4.    Pendidikan Agama Islam yang mencerahkan dan mencerdaskan
a.    Gambaran perilaku peserta didik saat ini.
Tingginya frekuensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ekstasi adanya pergaulan bebas dan minum-minuman keras, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidakberhasilan pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi.
Sejalan dengan fenomena di muka, sekalipun tampak dan dirasakan sederhana, memperbincangkan tentang perlunya pendekatan pengajaran yang mencerdaskan dan sekaligus mencerahkan sebagaimana kita lakukan saat ini, adalah memang strategis dan seharusnya selalu dilakukan. Agama Islam, sebagai agama samawi, memiliki ajaran yang sangat fundamental, yaitu iman, Islam dan ihsan. Ihsan adalah ajaran yang mengharuskan kita selalu memilih alternatif yang terbaik. Ajaran ini tentu saja juga harus terejawantahkan dalam hal kita menunaikan amanah pendidikan. Mendidik dan mengajar adalah tugas kemanusiaan, yang tidak saja berkonsekuensi bagi kehidupan saat ini, melainkan juga kehidupan masa yang akan datang dan selalu menyangkut banyak orang
b.   Berpikir Positif dan Lebih Produktif
Tatkala dihadapkan oleh kenyataan tentang sisi kurang membanggakannya lulusan sekolah, biasanya orang lebih suka membela diri dengan alasan-alasan yang dipandang mampu menyelamatkan diri. Jika peserta didik masih banyak yang melakukan tindakan-tindakan tak bermoral, maka kemudian berdalih bahwa kewajiban membina peserta didik bukan hanya kewajiban guru di sekolah melainkan orang tua dan masyarakat juga. Alasan-alasan lain semacam itu masih cukup banyak, semuanya bersifat subyektif dan pembelaan diri.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia yang semakin berat seperti saat ini, perlu dilakukan reorientasi secara menyeluruh penyelenggaraan pendidikan di sekolah  agar kualitas hasil lulusannya meningkat.[17]
c.    Komponen Pelaksanaan PAI yang Mencerahkan dan Mencerdaskan.
Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan lingkungan.
1)   Materi pendidikan
Dalam rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan beberapa kriteria diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus berpegang pada realitas sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang, (4) menjangkau tujuan yang luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa, dan (6) harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat peserta didik (Ghofir, 1993: 37-38).[18]
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah al-Qur’an dipandang sebagai landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak menyatukan mata pelajaran yang bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata pelajaran umum dan agama, di mana semua materi termasuk ilmu alam harus diajarkan menurut pandangan Islam. Untuk mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi, ruang lingkup materi, klasifikasi materi, konsekuensi materi, serta sumber acuannya.
2)   Sistem Penyampaian
Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan tentang metode mengajar yang terpenting adalah pengetahuan tentang cara menyusun urutan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan.[19]
3)   Proses belajar mengajar (pelaksanaan)
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain adalah pola atau pendekatan belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik , dan atau  antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan kelas, serta penciptaan suasana betah di sekolah.
4)   Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar
Pemanfaatan  lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar bisa dilakukan dengan cara: melakukan kerja sama dengan orang tua murid, membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan sebagainya.





ENDNOTE

[1] Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, cet ke -4, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 1
[2] Saeful Hamdani, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2003), hlm. 1
[3] Ibid, ...... Pengembangan Kurikulum, Hlm. 1
[4] Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang,2008), hal.51.
[5] Ibid,...hal 67-73.
[6] Lorin W. Anderson,  Assessing affective characteristic in the schools. (Boston: Allyn and Bacon, 1981). hal. 3
[7] Anonymous. 2009. “Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor”.
[8] Anonymous. 2009. “Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor”.

[9] Anonymous. 2009. “Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif”. (Online)
[10] Lorin W. Anderson,  Assessing affective characteristic in the school,,,. hal. 3
[11] Anonymous. 2009. “Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif”. (Online)
[12] Anonymous. 2009. “Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor”.
[13] Purwadaminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1990), hal. 583.
[14] Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset), 1989.
[15] Ibid
[16] Sudjono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada). 2008.
[17] Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan,...hal. 25-32
[19] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja  Rosdakarya, 1999),hal.34.




DAFTAR PURTAKA
Andersen, Lorin. W. Assessing Affective Characteristic in the Schools. Boston: Allyn and Bacon, 1981.
Anonymous. 2009. “Aspek Penilaian dalam KTSP Bag 1 (Aspek Kognitif)”. (Online) http://massofa.wordpress.com/feed/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.
Anonymous. 2009. “Sistem Penilaian”. (Online) http://smak.yski.info/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.
Anonymous. 2009. “Pengembnagan Perangkat Penilaian Psikomotor dan Prosedur Penilaian”.(Online) http://nurmanspd.wordpress.com/2009/09/17/pengembangan-perangkat-penilaian-psikomotor/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.
Anonymous. 2009. “Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor”. (Online) http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/pengukuran-ranah-kognitif-afektif-dan.html. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.
Anonymous. 2009. “Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif”. (Online) http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/15/pengertian-fungsi-dan-mekanisme-penetapan-kriteria-ketuntasan-minimal-kkm/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.
Anonymous. 2009. “Penilaian Ranah Psikomotorik Siswa”. (Online) http://delapanratus.blogspot.com/2009/04/penilaian-ranah-psikomotorik-siswa.html. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.
Hamdani, Saeful  Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2003.

Muslich ,Masnur, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, cet ke -4, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Mueller, D. J.. Measuring social attitudes. New York: Teachers College, Columbia University. 1986.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Purwadaminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka,1990.
Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1989.
Sudjono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2008.
Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, Yogyakarta: Kota Kembang, 2008.
Tafsir, Ahmad , Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung:: Remaja Rosdakarya, 1999.
Traub, Ross. E.. Reliability for the social sciences. London: Sage Publications.1994.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar